Ilham - Call / WA +6281267 45797...........

Harimau Nan Salapan orang Minang


Berjudi, menyabung ayam, mengadu balam (burung puyuh), meminum arak, merupakan beberapa di antara penyakit masyarakat (pekat) yang membudaya di Ranah Minangkabau di permulaan abad ke sembilan belas. Tradisi ini lumrah dilakukan kaum adat ketika itu sehingga terjadilah pertentangan berkepanjangan antara kaum adat dengan kaum ulama yang mengharamkan perbuatan tak bernilai syariat itu.

Semua perbuatan tersebut dilakukan segelintir kaum adat sebagai kegiatan perintang-rintang hati, permainan, untuk melalai-lalaikan waktu. Parahnya semua permainan itu punya taruhan, yang kalah harus membayar kepada yang menang. Tak urung keributan terjadi, bunuh membunuh, hingga rebutan perempuan. Kondisi ini lambat laun merusak tatanan masyarakat Minangkabau.

Kondisi yang tidak sehat itu menjadi perhatian serius kaum ulama. Berbagai pendekatan sudah dilakukan namun tidak berhasil. Hingga di tahun 1802 pulanglah tiga orang ulama muda dari Mekah, yaitu 
  • Haji Miskin di Pandai Sikek (Luhak Agam), 
  • Haji Abdurrahman di Piobang (Luhak Limopuluh)
  • Haji Muhammad Arif di Sumanik yang juga dikenal dengan Tuanku Lintau (Luhak Tanah Datar).
Ketiga ulama muda ini membawa ajaran Wahabi dari Mekah. Hamka dalam bukunya “Ajahku” (Djajamurni Jakarta, cetakan ketiga 1967: 26) menulis, di akhir abad kedelapan belas terjadi pergolakan politik di Mekah. Kaum Wahabi di negeri itu beraliran keras agar umat Islam kembali kepada ajaran tauhid yang asli dari Rasulullah. Gerakan itu mereka lakukan karena banyak umat Islam telah melakukan penyimpangan yang terlalu jauh dari ajaran Islam. Aliran ini didirikan oleh Syech Muhammad bin Abdil Wahhab. Paham Wahabi sempat menyebar keseluruh jazirah Arab hingga menaklukkan tanah Hejaz (Mekah-Madinah).

Keberhasilan kaum Wahabi di Mekah itu menimbulkan kesan di hati ketiga ulama muda asal Minangkabau; Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik. Usai menuntut ilmu di Mekah, mereka pun pulang kampung untuk mengamalkan ajaran Islam yang sejati. Mereka melihat orang Minang ketika itu baru berlabel Islam saja, tetapi belum mengamalkan Islam secara kaffah. Mereka pulang membawa semangat baru dan merindukan kejayaan Islam di Ranah Minangkabau.

Tentu saja ketiga ulama muda ini mendapat perlawanan yang keras pula dari kaum adat. Gejolak pun terjadi. Tuanku Sumanik mendapat perlawanan hebat di negerinya hingga ia terpaksa pindah ke Lintau. Haji Miskin juga mendapat perlawanan yang tak kalah berat di Pandai Sikek hingga terpaksa pindah ke Ampek Angkek. Hanya Tuanku di Piobang yang tidak banyak mendapat tantangan.

Menyerahkah ulama-ulama itu? Tidak!. Haji Miskin kemudian mendapat teman seperjuangan yang setia di Agam. Mereka adalah Tuanku Nan Renceh di Kamang, Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Ladang Laweh, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di Koto Ambalau dan Tuanku di Lubuk Aur. Kedelapan ulama ini bertekad sehidup semati dan mereka pun terkenal dengan sebutan “Harimau Nan Salapan”. Prinsip Harimau Nan Salapan, ajaran murni Islam harus ditegakkan di setiap nagari meskipun pedang harus bicara!.

Meski mendapat pertentangan di sana sini, namun banyak juga nagari-nagari di Agam yang masyarakatnya mulai kembali menganut ajaran Islam secara benar. Harimau Nan Salapan telah menjadi “penjaga akidah umat” yang selalu berada di garda terdepan. Satu persatu nagari-nagari di Agam ditaklukkan, yang melawan mereka bakar. Nagari yang takluk diangkat seorang Tuan Kadhi dan Tuan Imam. Tuan Kadhi untuk menjaga perjalanan hukum Syarak dan Tuan Imam untuk memimpin peribadatan sembayang dan bulan puasa. Maka segala penyakit masyarakat seperti judi, minuman keras, menyabung ayam dan mengadu balam lenyap. Perempuan mesti menutup rambutnya sebab rambut adalah aurat. Di setiap halaman rumah mesti ada batu hampar yang gunanya untuk membasuh kaki akan sembahyang.

Itulah sekelumit nostalgia tentang Harimau Nan Salapan. Cakar dan taringnya tajam dalam menegakkan falsafah Minangkabau, “adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah”. ***

@TAMBAHAN@

Istilah Harimau Nan Salapan sudah memasyarakat di Ranah Minang sejak dimulainya perjuangan pengusiran penjajah oleh Abdullah Tuangku Nan Renceh 1803. Masa itu diperkirakan Nan Renceh berumur 35 tahun. Kiprah Tuangku Nan Renceh dalam perjuangan mengusir kaum penjajah sudah termashur dengan perang kamang.

Disebut sebagai Harimau Nan Salapan karena jumlah anggotanya delapan orang, yaitu : Tuangku Nan Renceh, Tuangku Kubu Sanang, Tuangku Ladang Laweh, Tuangku Padang Lua, Tuangku Galuang, Tuangku Koto Ambalau, Tuangku Pamansingan dan Tuangku Haji Miskin.

Sepak terjang Harimau Nan Salapan juga dikenal di Daerah Tapanuli Selatan. Masyarakat Tapanuli Selatan (mandailing dan Angkola) yang pada masa itu mayoritas masih menganut Paham (semacam animisme), berhasil di islam kan oleh Pongkinangolngolan Sinambela yang bergelar Tuanku Rao, Hamonangan Harahap bergelar Tuanku Tambusai, Mansur Marpaung bergelar Tuanku Asahan, Jatenggar Siregar bergelar Tuanku Ali Sakti dan sejumlah pemuda lain yang belajar agama Islam serta taktik perang dengan Tuangku Nan Renceh di Kamang, Luhak Agam, Minangkabau.

Menurut DP Asral, seorang pengamat sejarah Minangkabau asal Bukittinggi, gelar tuangku mereka sandang bukan semata karena mereka paham dan mengerti serta mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Tetapi lebih disebabkan mereka berani berjauang memimpin pasukan menyerang kaum penjajah. Artinya merekalah orang-orang terkemuka, atau disebut saja sarjana masa itu.

Kata Onggang Parlindungan dalam buku Tuangku Rao, Harimau Nan Salapan, juga dikenal sebagai Presedium Negara Darul Islam Minangkabau pada masanya. Tuangku Nan Renceh mereka tunjuk sebagai Ketua Presedium. Cita-cita Nan Renceh sangat besar. Dia ingin membebaskan Tanah Jawi (Nusantara) ini dari kegelapan dan cengkraman penjajah.

Sebagai langkah awal, Kelompok Delapan ini membuka selimut hitam yang mengatapi Minangkabau. Masyarakat Minang yang pada masa itu terlena dengan kebiasaan bersuka ria, menikmati hidup dengan keramaian judi dan sabung ayam, menjadi sasaran utama untuk dibersihkan.

Sejarah mencatat, usaha pembersihan ini tidak semudah membalik telapak tangan. Sebab, kaum adat yang suka menikmati hidup duniawi, merasa kesenangannya terusik. Karena itu mereka pun mengadakan perlawanan terhadap gerakan kaum putih yang dipimpin Nan Renceh. Berkat ketegasan dan kematangan rencana dari kaum putih ini pula, akhirnya Ranah Minang bisa juga dikuasai kaum ulama.

Selanjutnya, perjuangan Harimau Nan Salapan menghasilkan perdamaian antara kaum adat dan kaum agama di Minangkabau pada tahun 1834. Perdamaian ini pula yang dikenal sebagai Kesepakatan Bukit Marapalam yang membuahkan istilah ABS-SBK (Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabbullah). Tuangku Nan Renceh sendiri tidak hadir dalam upaya perdamaian ini karena dia gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Bukittinggi, 1826.

Jika dicermati, apa yang dilakukan Tuangku Nan Renceh selama perjuangannya, sebagaimana sejarah juga mencatat, tentulah tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Trio Haji yang pulang dari Mekah di akhir abad ke 18. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Sumanik dan Haji Miskin. Ketiga orang ini memiliki keahlian masing-masing dalam menanamkan paham wahabi di Ranah Minang.

Beberapa catatan menyebutkan, 
  • Haji Piobang adalah seorang lulusan Universitas Al-Azhar yang sempat menjadi tentara Mesir kemudian bergabung dengan tentara Turki melawan Napoleon. Terakhir Piobang berpangkat kolonel. 
  • Haji Sumanik berpangkat mayor, dia kawan Piobang di Al-Azhar yang juga ikut melawan tentara Napoleon. 
  • Haji Miskin merupakan seorang berpengetahuan luas tentang Islam lama mengambara di Jazirah Arab.

Trio Haji inilah yang sejak kepulangan mereka ke kampung halaman, mendampingi Nan Renceh dalam berjuang menegakkan syariat Islam di Ranah Minang. Mereka pula yang membina angkatan perang, serta meletakkan fondasi perjuangan melawan kaum penjajah.

Tentara padri bentukan Haji Piobang, bukannya tentara kampungan. Tetapi sudah terstruktur rapi hingga ke desa (nagari-nagari). Kepala Nagari merupakan komandan tentara di pedesaan.

Beberapa litelatur mencatat, dalam menegakkan syariat Islam di Minangkabau masa itu, masing-masing Tuangku di daerah kekuasaannya menerapkan sistem lihat batu tapakan (batu yang menjadi injakan terakhir ketika naik ke atas rumah). Apa bila dalam pemeriksaan di pagi hari batu ini tidak basah oleh air wuduk shalat subuh, maka orang yang ada di atas rumah itu dianggap tidak Islam. Eksekusi pun dijalankan di tempat. Hukumannya beragam, mulai dari cambukan sampai hukum pancung.

Untuk daerah Luhak Tanah Data, masa itu dikenal ketegasan Taungku Lintau (atau disebut juga Tuangku Alim Tahu). Beliau ini terkenal dengan prajuritnya yang sangat aktif memeriksa batu tapakan setiap pagi di setiap rumah-rumah penduduk. Derap langkah kaki kuda prajurit ini sangat di takuti oleh orang-orang pelanggar syariat agama.

Tapi, semua ini adalah cerita masa lalu. Kini hanya tinggal kenangan. Soal basah atau tidaknya batu tapakan di rumah-rumah penduduk menjelang sembahyang subuh, tidak ada lagi yang akan memeriksa dan mengingatkannya, kecuali diri mereka masing-masing.
(By:majelismujahidinbukittinggi.wordpress.com)




See Other Articles